3. Penegakkan Keadilan
Keadilan dalam syari’at Al Qur’an
memiliki penafsiran yang amat luas, sehingga mencakup seluruh makhluk,
bahkan mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu, karena
keadilan dalam syari’at Al Qur’an adalah menunaikan setiap hak kepada
pemiliknya, dan bukan berarti persamaan hak.
Untuk
membuktikan apa yang saya utarakan ini, saya mengajar pembaca untuk
merenungkan kisah berikut, “Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah,
dari ayahnya, ia mengkisahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjalinkan tali persaudaraan antara Salman Al Farisy radhiyallahu’anhu dengan Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, maka pada suatu hari Salman radhiyallahu’anhu mengunjungi Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, kemudian ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan tidak rapi, maka Salman radhiyallahu’anhu
bertanya kepadanya, Apa yang terjadi pada dirimu? Ummu Darda’ pun
menjawab, Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita
yang ada di) dunia. Maka tatkala Abu Darda’ radhiyallahu’anhu datang, iapun langsung membuatkan untuknya (Salman radhiyallahu’anhu) makanan, kemudian Salman radhiyallahu’anhu pun berkata, Makanlah (wahai Abu Darda’) Maka Abu Darda’ radhiyallahu’anhu pun menjawab, Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Mendengar jawabannya Salman radhiyallahu’anhu berkata, Aku tidak akan makan, hingga engkau makan, maka Abu Darda’ radhiyallahu’anhu pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abu Darda’ radhiyallahu’anhu bangun (hendak shalat malam), melihat yang demikian, Salman radhiyallahu’anhu berkata kepadanya, “Tidurlah”, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan Salman radhiyallahu’anhu pun kembali berkata kepadanya, “Tidurlah”. Dan ketika malam telah hampir berakhir, Salman radhiyallahu’anhu berkata, “Nah, sekarang bangun, dan shalat (tahajjud)”. Kemudian Salman radhiyallahu’anhu
menyampaikan alasannya dengan berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu memiliki
hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki
hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada
pemiliknya”. Kemudian Abu Darda’ radhiyallahu’anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya dengan bersabda, “Salman telah benar”. (HR. Bukhari).
Dikarenakan keadilan dalam syari’at Al
Qur’an mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala, mencakup keadilan kepada
Allah Ta’ala, maka tidak heran bila Allah Ta’ala menyatakan bahwa
perbuatan syirik adalah tindak kelaliman terbesar, “Dan orang-orang
kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 254)
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.” (QS. Luqman: 13)
Bila ada yang bertanya apa hak-hak Allah,
sehingga kita dapat menunaikan hak-Nya dan tidak menzhalimi-Nya? Maka
jawabannya dapat dipahami dari ayat 13 surat Luqman di atas, dan juga
lebih tegas lagi disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada kisah berikut, Muadz bin Jabal radhiyuallahu’anhu menuturkan, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai keledai, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepadaku, ‘Wahai Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah atas
hamba-Nya, dan apa hak hamba atas Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan
Rosul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
pun bersabda, ‘Hak Allah atas hamba yaitu: supaya mereka beribadah
kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan hak hamba
atas Allah yaitu: Allah tidak akan mengazab orang yang tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.’ Lalu aku bertanya, ‘Ya Rasulullah,
bolehkah aku sampaikan kabar gembira ini kepada para manusia?’ Beliau
menjawab, ‘Jangan kamu sampaikan kabar gembira ini, nanti mereka akan
bertawakal saja (dan enggan untuk beramal).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keadilan jenis inilah yang pertama kali harus ditegakkan dan diperjuangkan. Oleh karena itu, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bernegoisasi dengan salah satu delegasi orang-orang Quraisy, yang
bernama ‘Utbah bin Rabi’ah pada perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidaklah menyeru mereka untuk meninggalkan kelaliman dalam harta benda,
jabatan, atau yang lainnya. Beliau hanya menyeru agar orang-orang
Quraisy meninggalkan kelaliman terhadap Allah Ta’ala. Sehingga tatkala
beliau ditawari oleh ‘Utbah bin Rabi’ah untuk menjadi raja atau diberi
harta benda dengan syarat membiarkan orang-orang Quraisy menyembah
berhala mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak
tawaran tersebut. Marilah kita simak kisah negoisasi tersebut,
sebagaimana diriwayatkan oleh ulama’ ahli sirah, “Utbah bin Rabi’ah
berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Wahai keponakanku,
bila yang engkau hendaki dari apa yang engkau lakukan ini adalah karena
ingin harta benda, maka akan kami kumpulkan untukmu seluruh harta
orang-orang Quraisy, sehingga engkau menjadi orang paling kaya dari
kami, dan bila yang engkau hendaki ialah kedudukan, maka akan kami
jadikan engkau sebagai pemimpin kami, hingga kami tidak akan pernah
memutuskan suatu hal melainkan atas perintahmu, dan bila engkau
menghendaki menjadi raja, maka akan kami jadikan engkau sebagai raja
kami, dan bila yang menimpamu adalah penyakit (kesurupan jin) dan engkau
tidak mampu untuk mengusirnya, maka akan kami carikan seorang dukun,
dan akan kami gunakan seluruh harta kami untuk membiayainya hingga
engkau sembuh.” Mendengar tawaran yang demikian ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak lantas menerima salah satu tawarannya berupa menjadi
raja/pemimpin atau diberi kedudukan, sehingga segala Quraisy tidaklah
akan memutuskan sesuatu hal melainkan atas persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi tetap meneruskan perjuangannya memerangi kelaliman terbesar, yaitu peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab tawaran orang ini dengan membacakan 13 ayat pertama dari surat
Fushshilat, “Haa Miim. Diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan
yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling
(daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata,
“Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami
kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan di antara kami dan kamu
ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungghnya kami bekerja (pula).”
Katakanlah, “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa, maka
tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan
mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat pahala yang
tiada putus-putusnya.” Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir
kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta
alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuninya) dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan
langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada
bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad
dan kaum Tsamud.” (QS. Fusshilat: 1-13)
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai pada ayat ke 13 ini, Utbah bin Rabi’ah berkata kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Cukup sampai di sini, apakah engkau memiliki sesuatu (misi/tujuan) selain ini? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, ‘Tidak’.” Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Ibnu Hisyam
2/131, Dan Dalail An Nubuwah oleh Al Asbahani 1/194, dan kisah ini
dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Fiqhus Sirah.
Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memulai perjuangannya menegakkan keadilan, yaitu dimulai dengan
menegakkan keadilan kepada Allah Ta’ala. Bila keadilan ini telah tegak,
barulah keadilan lainnya ditegakkan, sebagaimana yang diwasiatkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat
yang beliau utus untuk menyeru masyarakat kala itu kepada keadilan
Islam, “Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu bahwasannya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya
engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya pertama
kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengucapkan syahadat
(la ilaha illallah) -dan menurut riwayat yang lain: mentauhidkan
(mengesakan) Allah-, Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut,
maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka
shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan bila mereka menta’atimu
dalam hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan
atas mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan
dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka. Dan bila mereka
menta’atimu dalam hal tersebut, maka jauhilah olehmu mengambil yang
terbaik dari harta mereka (sebagai zakat). Dan takutlah tehadap do’a
orang yang dizhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antaranya
dan Allah (untuk di kabulkan do’anya).’” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan bila keadilan terbesar ini telah
ditegakkan oleh suatu masyarakat, maka Allah Ta’ala akan melimpahkan
keadilan selainnya kepada mereka, sebagai buktinya mari kita simak
firman Allah Ta’ala berikut, “Bagaimana aku takut kepada
sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu
tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah
sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka
manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan
(dari malapetaka), jika kamu mengetahui. Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’aam: 81-82)
Dan mari kita simak pendidikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada saudara sepupunya Abdullah bin ‘Abbas radhiyuallahu’anhu,
“Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah
(syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan
(pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di hadapanmu.” (HR. At
Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun metode penegakan keadilan sesama
manusia, maka syari’at Al Qur’an telah memberikan gambaran indah dan
sempurna sehingga tiada duanya. Diantara salah satu buktinya, simaklah
firman Allah berikut, ”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa’: 135)
Demikianlah syari’at Al Qur’an dalam
menegakkan keadilan. Dan sekarang mari kita bersama-sama merenungkan
salah satu kisah nyata penegakan keadilan dalam Islam berikut ini, “Dari
sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasannya kaum Quraisy
dibingungkan oleh urusan seorang wanita dari Kabilah Makhzum yang
kedapatan mencuri, maka mereka berkata: Siapakah yang berani memohonkan
keringanan untuknya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Maka Mereka berkata: Siapakah yang berani melakukannya selain Usamah orang kesayangan Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas Usamah pun memohonkan keringanan untuknya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Apakah engkau akan memohonkan keringanan pada salah satu
hukum had/pidana (ketentuan) Allah?” Kemudian beliau berdiri berkhutbah,
lalu bersabda, “Wahai para manusia,! Sesungguhnya yang menyebabkan
orang-orang sebelum kalian adalah bila ada dari orang yang terhormat
(bangsawan) dari mereka mencuri maka mereka biarkan (lepaskan) dan bila
orang lemah dari mereka mencuri, maka mereka tegakkan atasnya hukum had.
Dan sungguh demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri,
niscaya aku akan potong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Semakna dengan kisah ini apa yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
pertama kali beliau dibai’at menjadi khalifah, beliau berkata,
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang yang kuat di sisiku adalah orang
yang lemah sampai aku ambil darinya hak (orang lain yang ia rampas) dan
orang yang lemah disisiku adalah orang yang kuat hingga aku ambilkan
untuknya haknya.” (HR. Al Baihaqi)
contoh lain yang serupa dengan ini ialah
kisah yang terjadi pada sahabat Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu.
Tatkala orang-orang Yahudi Khaibar hendak menyuapnya agar mengurangi
kewajiban upeti yang harus mereka bayarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
maka ia menjawab permintaan mereka ini dengan ucapannya, “Wahai
musuh-musuh Allah, apakah kalian akan memberiku harta yang haram?!
Sungguh demi Allah, aku adalah utusan orang yang paling aku cintai
(yaitu Rasulullah), dan kalian adalah orang-orang yang lebih aku benci
dibanding kera dan babi. Akan tetapi kebencianku kepada kalian dan
kecintaanku kepadanya (Rasulullah), tidaklah menyebabkan aku bersikap
tidak adil atas kalian. Mendengar jawaban tegas ini, mereka berkata:
Hanya dengan cara inilah langit dan bumi menjadi makmur.” (HR. Ahmad,
Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi)
Bukan hanya sampai di sini syari’at Al
Qur’an menegakkan hak dan keadailan, bahkan keadilan dan kebenaran dalam
syari’at Al Qur’an tidak dapat dibatasi dengan peradilan manusia atau
tingginya tembok pengadilan atau penjara. Keadilan dan hak seseorang
dalam Islam tidak akan dapat dirubah dan digugurkan, walau pengadilan di
seluruh dunia telah memutuskan untuk menguburnya atau menentangnya.
Sebagai salah satu buktinya, mari kita simak bersama kisah berikut,
“Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beliau bersabda, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa, dan
kalian mengangkat perselisihan kalian kepadaku, dan mungkin saja
sebagian dari kalian lebih pandai menyampaikan alasannya daripada yang
lain (lawannya), kemudian aku memutuskan untuknya (memenangkan
tuntutannya) berdasarkan alasan-alasan yang aku dengar, maka barang
siapa yang aku putuskan untuknya dengan sebagian hak saudaranya, maka
janganlah ia ambil, karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya
sebongkahan api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikianlah syari’at Al Qur’an menegakkan
keadilan, dan demikianlah menurut syari’at Al Qur’an suatu keadilan
tidak dapat dirubah walaupun pengadilan dunia dengan berbagai
birokrasinya telah merubahnya. Dan apa yang disampaikan di sini hanyalah
sepercik dari lautan keadilan menurut syari’at Al Qur’an. (bersambung
insyaAllah)
No comments:
Post a Comment